
Penghentian sementara atau trading halt saat IHSG rontok hingga 7 persen pada Selasa, 18 Maret lalu mengagetkan publik. Pasalnya, berkaca dari sejarah, tindakan ini hanya dilakukan Bursa Efek Indonesia (BEI) di momen-momen krusial, yakni saat krisis moneter 1998, krisis 2008, dan pandemi Covid-19.
Bergantian, para pejabat mulai dari pemerintah hingga DPR menyambangi BEI untuk meredakan gejolak pasar, dan memberikan pernyataan bernada menenangkan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga merilis aturan membolehkan emiten membeli kembali saham mereka (buyback) tanpa harus Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), demi memulihkan IHSG.
Bursa pada Rabu, 19 Maret 2025 atau sehari setelah trading halt, memang ditutup menghijau, naik 1,42 persen.
Goncangan kali ini, oleh banyak kalangan dianggap sebagai sinyal merosotnya kepercayaan pasar. Selain karena terimbas kebijakan Presiden AS Donald Trump, situasi di dalam negeri juga dinilai memperburuk. Di antaranya, keraguan terhadap proyek Danantara, kinerja jeblok APBN di awal tahun, isu mundur Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga polemik pengesahan RUU TNI.
Gejolak di masyarakat berpotensi terus menguat dan membesar karena DPR berencana mengesahkan RUU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025. Masyarakat sipil dan mahasiswa bakal turun ke jalan, menggelar aksi menolak pengesahan.
Apakah nasib RUU TNI ini akan menentukan kondisi pasar? Bagaimana dampaknya jika IHSG terus anjlok ke situasi ekonomi dan masyarakat bawah? Apa saja langkah cepat yang harus diambil pemerintah maupun pemangku kepentingan terkait? Bagaimana strategi investor menyikapi pasar yang tidak stabil?
Kita bincangkan bersama Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Dipo Satria Ramli dan Co-founder Pasardana, Dr. Hans Kwee.
Dengarkan di Radio Suara Gratia 95.9 FM Cirebon
Streaming Audio : suaragratiafm.com
Aplikasi Google Playstore : Radio Suara Gratia